web hit counter
//
you're reading...

ITERA

Pelatihan Pendidikan Karakter Dosen Institut Teknologi Sumatera

Pelatihan Pendidikan Karakter Dosen Institut Teknologi Sumatera diselenggarakan pada hari Senin, 5 Maret 2018 di Aula lantai 3 Gedung C. Dihadiri sekitar 60 dosen dari berbagai program studi. Subtema dari pelatihan setengah hari ini adalah: “Menumbuhkan Semangat dalam Pengembangan Karir Dosen”. Hanya ada satu foto yang sempat saya ambil pada acara tadi. Acara diagendakan mulai pada pukul 10.00 WIB namun karena pembicara terhalang cuaca di Bandung sehingga pesawatnya delay, sehingga acara mulai pada pukul 13.00 WIB.

Pelatihan Pendidikan Karakter Dosen Institut Teknologi Sumatera

Pelatihan Pendidikan Karakter Dosen Institut Teknologi Sumatera

Jadi pembicara pada pelatihan ini tadi adalah Prof. M. Salman N. A. dari Matematika ITB. Setelah kepo (demi kebaikan) saya temukan beliau ini memulai S3 pada usia 33-34 tahun. Kemudian lulus Doktor dari Twente pada usia 37 tahun. Hanya butuh lima tahun setelah S3 (usia 42 tahun) beliau dipercaya Matematika ITB dengan sandangan Professor. Inspiratif sekali acara ini, karena yang berbicara di depan kami adalah living example dari sosok Guru Besar yang benar-benar Guru Besar. Saya sampaikan lini masa seperti itu untuk bercermin pada kondisi diri dan rencana yang sudah kita punya akan bagaimana menjalani karir dosen ini. Rupanya sebelum acara dimulai kami ditugasi Prof Salman agar menuliskan peta hidup selama 25 tahun ke depan, di antaranya adalah KAPAN MENJADI GURU BESAR. Tentu ini bukan mimpi kosong yang mengawang, tapi memang cita-cita Guru Besar itu sangat bisa dan harus diwujudkan demi kebaikan institusi, pelayanan terhadap masyarakat, dan kualitas pembangunan manusia di Indonesia.

Saya masih ingat Januari 2018 lalu dosen pembimbing tesis dari ITB memberi wejangan begini, jadi Guru Besar itu idealnya memang proyek sekeluarga. Paling tidak sama istri (pasangan hidup) punya agenda untuk menjadi Guru Besar bersama-sama. Bukan berarti istrinya juga dosen loh. Kok bisa? Iya, kalau si suami jadi Professor maka istri akan menjadi Bu Professor secara otomatis tanpa perlu jadi dosen. Saya menimpali, ternyata mirip jadi Pak RT dan Bu RT atau Pak RW dan Bu RW ya Pak? Ternyata jadi Guru Besar itu harus jadi panutan civitas akademika dan masyarakat secara luas. Untuk itu nggak bisa kalau si suami mau jadi Professor tapi istrinya punya agenda lain ya susah dan itu tidak bisa.

Belakangan topik menjadi Guru Besar ini penting, sebab memang puncak karirnya dosen itu ya jadi Professor! Ada empat Jabatan Fungsional secara berurutan di antaranya adalah: Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala, dan Guru Besar. Semua jenjang itu memerlukan proses yang luar biasa. Sangat bisa dilakukan tapi akan sulit kalau tidak ada dukungan keluarga. Akan ada prioritas yang harus dilakukan pasangan dan keluarga besar. Pengertian dari keluarga akan memudahkan seseorang menjadi Guru Besar.

Hikmah dan ilmu yang dibagikan Prof. Salman di antaranya tentang pentingnya TAUBAT. Masuk ke ruang pelatihan ini kami diminta untuk membersihkan diri dan hati. Pengajaran kepada mahasiswa di ruang kuliah akan sulit dilakukan kalau dosen tidak ikhlas, gelisah, tidak bahagia, dan hatinya kotor. Mahasiswa tidak disiplin bisa jadi karena dosen itu sendiri belum disiplin. Memang beda kalau yang mengatakan seorang Professor. Ya awalnya saya mengira dosen itu bukan guru. Ya pokoknya ngajar suka nggak suka mahasiswa harus berjuang memahami. Tidak ada pekerjaan hati di sana. Justru Prof. Salman menekankan bahwa penting bagi kami untuk melibatkan hati dalam membimbing mahasiswa. Kalau tidak pakai hati, dosen mudah kecewa dan tidak bersemangat lagi untuk mengajar.

Taubat dan bersih-bersih hati ini dalam rangka mendekatkan diri pada Zat yang mengendalikan hati. Barangkali ada mahasiswa yang benar-benar bodoh dan nakal (maaf ini contoh kasar), tapi karena dosen menyentuhnya dengan hati ternyata ke depan dia punya semangat untuk berubah. Dan tidak disangka ia bisa lulus dengan predikat yang baik, belasan tahun berikutnya bertemu kembali di kampus sebagai orang yang berhasil. Bagaimana tidak terenyuh ketika ia berterima kasih pada sang dosen atas perhatiannya di masa lalu untuk mau peduli dan menolong si mahasiswa. Suksesnya mahasiswa tentu ada porsi kontribusi dosen, tapi semua itu tidak terjadi kalau Allah SWT tidak meridhai. Sebab hanya Allah SWT yang mampu membolak-balik hati.

Namun ada juga mahasiswa ITB pemilik nilai Matematika tertinggi dari sebuah provinsi. Gara-gara perkataan dosennya yang keras dan tidak tepat, ia putus asa. Drop out dari ITB. Lalu kuliah di kampus swasta. Rupanya tidak selesai juga studinya dan pengangguran sampai sekarang. Prof. Salman mengingatkan agar dosen berhati-hati dengan apa yang diucapkannya. Gerak-gerik dan ucapan dosen bisa sangat berkesan dan mengubah pandangan hidup para mahasiswanya. Dosen tidak bisa sekedar mentransfer pengetahuan. Dosen harus menjadi orang yang arif dan bijaksana. Yaa itu semua tercermin pada sandangan Guru Besar, Professor!

Berikut ini ada video rekaman Mocopat Syafaat dari Cak Nun bareng Kiai Kanjeng. Dipos barusan dan kok bertepatan barusan saya menerima materi ini dari Prof. Salman. Wejangan Cak Nun agak tidak biasa, beliau meminta Jamaah Maiyah agar bersadar ke Allah dan menjadi seorang yang ahli. Kaitannya dengan pelatihan kami adalah ya proses menjadi Guru Besar itu adalah menjadi Sang Ahli. Ditempuh dengan sekolah lanjut S2 dan S3, serta pengabdian Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Marathon ini akan panjang, mari mengumpulkan bekal untuk mengemban manfaat bagi semesta alam. Guru Besar!

Maturnuwun Prof. Salman dan Cak Nun atas inspirasinya hari ini!

Wisma ITERA, 5 Maret 2018.

 

Cheers,
Rifqi Ikhwanuddin, M.T.