Dalam hidup ini orang punya rencana dan tujuan hidup yang beda-beda. Beruntung kalau ada yang sudah menjalani hidup yang sesuai rencana dan arah tujuannya. Kasihan kalau habis umur di usia dewasa masih terombang-ambing mencari arah. Bakat orang beda-beda, pahami itu dulu.
Dulu, sebuah lembaga pemberi beasiswa pasca sarjana mewajibkan penerimanya untuk berpartisipasi di program pemberdayaan masyarakat. Lokasinya dipilih yang terpencil dan tersebar di Jawa. Sementara sang penerima beasiswa ini juga tersebar lokasi studinya. Bahkan banyak banget yang di luar negeri.
Pragmatisnya sih, program di masyarakat ini bisa jalan dengan sempurna selama tiga tahun. Sementara untuk studi pasca berlangsung dari 2 hingga 5 tahun-an. Faktanya, pengurus inti program mulai terseleksi alam berasal dari daerah-daerah yang dekat dengan lokasi pemberdayaan, yang jauh-jauh mundur teratur karena keterbatasan waktu, tenaga, dan dana.
Hitungan kasarnya mungkin hanya 1/10 dari seluruh penerima yang aktif menjalankan program ini. Lalu 9/10 nya seringnya kena sindiran sebagai penerima beasiswa yang tidak tahu terima kasih. Sebanyak 9/10 ini padahal hanya menjalankan amanat beasiswa, yaitu sekolah yang bener sesuai kontrak. Sebanyak 9/10 ini juga sebagian besar adalah pendatang di kota lokasi studi, tentu beda banget tantangannya dengan yang memang berasal dari kota yang sama.
Belum berjalan 3 tahun, program pemberdayaan ini tidak dilanjutkan untuk penerima beasiswa yang baru-baru. Kan aneh. Muncullah keirian di sebagian orang tentang perubahan-perubahan aturan, tentang mana yang wajib dan wajib?
Beberapa pekan lalu ikut seminar tentang talenta atau bakat, ternyata bakat ada kelompoknya. Masing-masing orang juga punya bakat berbeda. Selengkapnya tentang bakat-bakat itu bisa baca di sini. Dari situ melihat seleksi alam yang terjadi di program pemberdayaan masyarakat untuk periode 3 tahun itu menjadi wajar dan betul-betul alami.
Ada dua orang sama-sama diamanahi mengatur keuangan. Yang satu terampil, teliti, tegaan kalau nagih, bertanggung jawab, pokoknya cocok banget sama bakat dia. Yang kedua awam banget masalah duit-duitan, biasanya juga coding di depan laptop bikin robot line follower. Ini tuh bisa terjadi karena emang bakat orang beda. Jangan memaksakan suatu pekerjaan untuk sempurna dilaksanakan semua orang sekaligus.
Bakat Orang Beda
Jadi semisal yang 1/10 tadi itu adalah orang yang berbakat di dunia pemberdayaan masyarakat maka please jangan mudah menyalahkan yang 9/10. Kadang tanpa ada yang tahu, 9/10 ini mikir keras gimana cara berkontribusi sesuai kapasitasnya. Kalau 9/10 diminta berkontribusi sesuai kemampuan dan bakat yang 1/10 ya nggak bisa. Itu tidak natural dan hasilnya tidak akan sebaik 1/10.
Terjadi konflik horizontal semacam perang dingin di antara 1/10 dan 9/10 ini karena pemberi beasiswa atau atasannya mewajibkan hal yang menurutku absurd. Beasiswa ini ada agar orang-orang yang mau studi S3 bisa sekolah S3 dengan nyaman. Tidak perlu pusing kerja sambil kuliah, ngasuh anak, jaga orang tua, dan lain-lain. Lagian tidak semua orang juga jomblo yang masih bisa kemana-mana, ada dari 9/10 itu sudah menikah dan ikut suaminya atau bantu-bantu istrinya yang sekolah.
Terkait output penerima beasiswa ini apa? Menurutku tidak ada batasannya, karena sejak awal menerima semua kalangan. Jadi kalau nanti ada yang jadi pengusaha, pengacara, dosen, peneliti, petani, pejabat, politikus, ekonom, konsultan, profesional, dan lain-lain ya bebas-bebas aja. Hal ini menunjukkan masing-masing penerima beasiswa didukung bakatnya untuk menjadi sebagaimana yang ia mampu untuk menjadi. Tapi kalau semua diminta untuk 100% aktif memberdayakan masyarakat? Ini pertanyaan besar sih. Jalan orang beda-beda, karena tujuan keluarannya juga beda-beda.
Seperti yang mau jadi dosen, mereka ini harus nyicil pengalaman ngajar atau jadi asisten. Lalu nyicil ikut beberapa konferensi biar terbuka wawasannya dengan dunia internasional. Lalu studi pasca Dalam Negeri masih ada mata kuliahnya, nggak langsung riset, artinya mereka harus mengerjakan tugas-tugas pekanan, bulanan, dan semester. Mereka juga dibutuhkan laboratorium untuk menghidupkan riset dan membimbing mahasiswa undergraduate. Dari 24/7 yang tersedia mereka juga harus membagi waktu untuk merintis karir dosen, waktu yang sifatnya pribadi, untuk keluarga, dan hiburan/hobi.
Ada orang yang lincah banget, hari ini di kota A, besok di kota B, lusanya di kota A, besoknya di kota C berturut-turut dan sering tanpa kelelahan. Itu ada. Tapi ada juga yang motoran berapa puluh kilo aja udah kecapean dan butuh tidur yang cukup untuk memulihkan badan. Bakat orang beda. Kemampuan orang beda. Daya tahan orang beda. Potensi orang beda. Pencapaian orang beda.
Ada yang bisa intens kontribusi pemberdayaan masyarakat tapi tetep bisa lulus tepat waktu dan cum laude. Selamat! Anda berbakat di dua bidang itu. Tolong jangan paksa semua orang mencapai hal yang sama sementara, faktanya, bakat orang beda.
Andai atasan kita tidak mewajibkan seperti ini, konflik horizontal pasti bisa terhindarkan. Jalan kontribusi orang beda-beda, kalau semua orang mengurus pemberdayaan masyarakat nanti yang berkontribusi pengetahuan ke dunia farmasi siapa? ke dunia engineering siapa? ke dunia seni siapa?
Membangun Indonesia adalah kesepakatan bersama, tapi rutenya mari boleh bersepakat untuk berbeda 🙂
Saya bersyukur membangun curriculum vitae amat banyak dari lingkungan lab kampus. Alasan saya daftar beasiswa S2 juga karena ingin fokus mengembangkan diri di bidang yang saat ini digeluti. Saya nggak kepikiran untuk ikut-ikutan lagi di pemberdayaan masyarakat. Bukan berarti saya nggak peduli, tapi saya kira waktunya udah selesai. Maaf selama 5 tahun di studi S1 saya adalah mahasiswa yang bantu sana bantu sini semuanya gratis dan jadi volunteer. Level kontribusinya regional hingga nasional. Untuk kebutuhan personal berkomunitas alhamdulillah itu sudah terpuaskan di periode S1. Saya pikir periode S2 adalah waktu untuk memantapkan pengetahuan bidang studi dan menjadi lebih ahli daripada sebelumnya. Waktunya pun singkat, hanya 2 tahun. Paling tidak kan begitu. Tapi sayangnya nggak semua orang tahu. Saya kira uneg-uneg ini penting untuk ditulis, biar lega.
Lalu solusimu pemberdayaan masyarakat dibubarkan? Nggak lah. Bakat orang beda. Memang Tuhan menciptakan sebagian orang untuk seneng terjun di dunia itu. Energinya betul-betul besar untuk merawat program jangka panjang. Nafasnya betul-betul dalam untuk menyelami kehidupan masyarakat setempat. Kapasitasnya betul-betul cocok dengan kebutuhan teknis maupun konseptual si program-program.
Menurut saya, kita harus berkontribusi sesuai bakat dan talenta. Tuhan mengirimkan kita untuk bidang-bidang tertentu. Nabi Daud pandai besi, Nabi Nuh bikin bahtera, Nabi Isa penyembuh kusta, Nabi Muhammad SAW berdagang. Saling hormat-menghormati aja dengan makna penciptaan masing-masing. Lanjutkan! 🙂
Bandung, 24 Dzulqa’idah 1438 H