Gunung telah menjadi tujuan. Dan bekal perjalanan yang kami pikul menjadi inti cerita.
Pada perjalanan yang melelahkan itu, para pendaki melengkapi masing-masing dirinya dengan bekal yang berat dan bermacam-macam. Dalam satu regu ada yang membagi bahan bekal perjalanan dan menugaskan beberapa pemuda dengan punggung lebih kuat untuk memikul barang-barang lebih berat. Saya di antaranya yang tertunjuk untuk memikul rangka-rangka besi tenda dan botol-botol bumbu masakan, masih ditambah bawaan pribadi seperti pakaian ganti, minuman dan kamera beserta tripodnya.
Kali itu adalah yang ketiga saya ikut dalam rombongan pendakian gunung. Sedikitnya dua-tiga pengalaman berharga sudah saya alami, dan salah satunya adalah tentang menahan keluh pada cerita yang dulu. Benar rupanya, sekali pengajaran tidak cukup.
Saya (masih saja) menggerutu di jalan.
Ada yang bilang, perjalanan mendaki gunung itu mirip perjalanan kehidupan. Bagi orang yang suka merenung, mereka sering kali diserang inspirasi saat mendaki gunung. Mungkin inilah alasan sebagian anak muda merutinkan perjalanan pulang-pergi ke atas puncak.
Bekal Perjalanan
Bekal-bekal itu isinya sebagian besar adalah alat untuk bertahan hidup agar sampai di puncak dan kembali turun, dan sebagiannya lagi akan sama sekali tidak digunakan. Meski tidak digunakan, sebagian besar pendaki pemula tetap membawa barang tersebut.
Pendaki bisa dibagi ke dalam beberapa, pertama yang pemula lalu kedua yang berpengalaman. Saya sendiri masuk dalam pemula, pada momen itu sialnya saya tertunjuk memikul barang kelompok sehingga beban yang menekuk punggung semakin nggak karuan. Gerutu dalam hati timbul dari akibat membandingkan beban dan kemampuan pikul sendiri. Yang rupanya dalam hidup ini semua orang pergi ke satu tujuan yang sama dengan membawa bekal yang berbeda-beda. Ada yang egois membawa bekal untuk diri sendiri, ada yang terpaksa membawakan bekal seluruh kelompok. Ada juga yang berlapang hati meringankan beban temannya dengan meminjam bekal untuk dipikul di pundaknya.
Teman-teman yang baik itu harus kamu jaga, di perjalanan seberat itu kualitasnya jelas kelihatan.
Sisi negatif manusia keluar saat ia terpojok, dalam kondisi berat, lelah dan lapar. Sering-seringlah pada kesempatan lain mendorong diri sendiri ke pojok yang merepotkan itu. Sebab di kehidupan tanpa ransel, beban dan bekal perjalanan itu nyata adanya dalam bentuk lain. Respon kita menghadapi kesulitan itu pastilah berguna, seperti selalu berpikir positif dan tenang. Karena prasangka negatif itu menular, sekali ia menjalar dalam kelompok atau lingkaran kehidupan sulit mengembalikannya ke situasi yang menyenangkan dan aman.
Memang dalam kehidupan ini sering kita melihat secara tidak adil Tuhan telah meringankan orang lain mencapai suatu cita-cita dengan bekal yang apa adanya. Sementara kita mengira telah menahan berat yang paling sangat dibanding mereka untuk mencapai titik tertentu. Percayalah mata itu kadang tidak berhak dipercaya seutuhnya. Puncak masing-masing orang berbeda, tujuannya berbeda, cerita perjalanannya juga bisa berupa. Kaki boleh sama-sama bergerak namun hati mungkin ada di tempat berbeda, berjuang menuju puncaknya masing-masing, dengan kadar tinggi yang berupa-rupa. Bekal perjalanan yang masing-masing orang siapkan sebelumnya akan membuat ia meraih puncak yang menjadi hasratnya.
Tidak perlu membandingkan, kaki dan punggung diciptakan-Nya untuk memikul bekal perjalanan dalam kadar puncaknya yang unik.
Naik dengan rahmat, turun dengan selamat. Gunung memberi pelajaran kepada saya tentang makna bekal perjalanan dan bahayanya pikiran negatif. Bekal perjalanan membuat saya perlahan-lahan mengenali siapa sebenar diri dan bagaimana semestinya di masa depan saya menghadapi situasi sulit yang merepotkan.
Semoga cukup dewasa,
pengingat bagi sendiri.
Cheers
Rifqi
Discussion
No comments yet.