Awalnya ide Metafisika dalam Matematika ini terpancing dari forum Intellectual Youth Summit 2016 di Jogja lalu. Saya lupa persisnya, entah Ust Syamsuddin Arif atau Ust Hamid Fahmy Zarkasyi yang ngendika (atau berpesan) seputar ini. Ketika agama ditinggalkan di Barat maka Metafisika juga hilang di tubuh Sains yang fisik (terindera). Sementara itu Metafisika justru menetap dan berkembang di dalam Matematika.
Maksud Metafisika dalam Matematika berikut adalah tadabbur saya atas Aayaat Qauniyyah-Nya di alam semesta, yang kali ini hadir sebagai Matematika. Inilah yang saya pahami tentang Matematika dari sudut pandang atau worldview “seorang Muslim” dan mahasiswa yang berilmu Teknik Fisika. “Seorang Muslim”-nya pun masih penuh catatan, masih banyak belajar dan berlimpah dosa.
Karena ini sifatnya tadabbur dan bukan tafsir, maka ini amat subjektif. Besar kemungkinan yang memahami catatan ini hanyalah teman-teman yang juga belajar Matematika dan Islam. Tentu saja saya kesulitan menyapa teman-teman yang tidak mendalami Matematika, untuk itu saya berharap kehadiran tulisan teman-teman yang berkaitan dengan bidang yang dipelajarinya masing-masing, dipandang dengan worldview Islam.
Yang dimaksud Metafisika dan Ghaib itu sama. Salah satu sekularisasi yang dilakukan ilmuwan Barat adalah merontokkan Metafisika dari ilmu-ilmu. Pelajaran Fisika, Biologi, Kedokteran, Kimia, Sosiologi, Sejarah, Ekonomi, dan lain-lain hari ini kering, tidak ada semangat mengenal Tuhan Sang Pencipta. Padahal sebagian besar ilmu-ilmu, pada dasarnya dikembangkan melalui semangat ber-Islam para Cendekiawan Muslim di abad 10 – 15 Masehi. Pada tulisan ini saya ingin menghadirkan satu perwajahan baru Metafisika dalam Matematika. Matematika tidak berubah, hanya saja cara kita memandangnya yang boleh jadi berubah.
Pythagoreans preached that all numbers could be expressed as the ratio of integers, and the discovery of irrational numbers is said to have shocked them. [sumber]
Dalam Matematika ada semesta bilangan. Induk tertingginya adalah bilangan Real (Nyata) dan Imajiner. Real terbagi lagi menjadi bilangan Rasional dan Irasional. Uniknya Irasionalitas bilangan di dalam Matematika tidak dibuang, justru dijaga di bawah gugus semesta bilangan Real. Bicara tentang bilangan Irasional, hal semacam ini pernah dianggap sebagai dosa dalam lingkaran perkumpulan Pythagoras. Bahkan seorang muridnya bernama Hippasus dari Metapontum dihukum mati (dengan cara ditenggelamkan di tengah laut) karena meyakini keberadaan angka Irasional dan berani-beraninya menyebarkan gagasan tersebut ke khalayak umum. Pythagoras amat malu akan hal ini.
Masih ingat Rumus Segitiga Pythagoras?
Rumus ini, $latex \displaystyle a^2=b^2 + c^2$, dengan $latex a$ adalah sisi miring sebuah segitiga yang punya satu sudut $latex 90\textdegree $.

Sisi miring dengan nilai akar dua. Berapakah akar dua?
Masalahnya muncul ketika nilai $latex b = 1$ dan $latex c = 1$. Maka akan begini hasilnya, $latex 2 = 1^2 + 1^2 $, dengan $latex a^2 = 2 $ maka $latex a=\sqrt{2} $. Nilai akar inilah yang menjadi masalah di era Pythagoras. Dan seorang muridnya mati karena mempertahankan eksistensi bilangan Irasional, $latex \sqrt{2} $.
Berapakah nilai akar dua?
Kira-kira berikut, 1.41421356237309504880168872420969807856967187537694807317667973799… dan seterusnya tidak terhingga banyaknya. Tidak akan ada bentuk rasio yang betul-betul mewakili bentuk akar dua, kalaupun ada itu pendekatan sebagaimana nilai $latex \pi $ yang didekati dengan rasio (pembagian) setara $latex \dfrac{22}{7}$.
Jadi kalau sesuatu itu Irasional, hal tersebut bukan Imajiner tapi justru masih Real. Pada bagian ini harus bisa dibedakan mana Irasional mana Imajiner, karena itu beda. Suatu bilangan disebut Irasional semata-mata karena bilangan tersebut tidak memiliki bentuk rasio atau pembagian yang pasti. Namun eksistensi bilangan itu di dunia nyata masih ada.
Letak bilangan Irasional adalah di antara bilangan Rasional. Seperti akar dua yang kalau dibulatkan sekitar $latex 1.4142..$ maka sesungguhnya ia terletak di antara bilangan 1.4 dan 1.5. Persisnya di mana itu sulitnya, yang kita lakukan hanya bisa mendekati dengan pembulatan yang sewajarnya. Seperti juga nilai $latex \pi $ yang memiliki pembulatan wajar sekitar $latex 3.14.. $ Padahal sebenarnya setelah dua angka setelah koma masih berlanjut angka desimal lain yang tak terhingga.
$latex \pi $ = 3.141592653589793238462643383279502884197169399375105820974944592307816406286 208998628034825342117067982148086513282306647093844609550582231725359408128481 117450284102701938521105559644622948954930381964428810975665933446128475648233 786783165271201909145648566923460348610454326648213393607260249141273724587006 606315588174881520920962829254091715364367892590360011330530548820466521384146 951941511609433057270365759591953092186117381932611793105118548074462379962749 567351885752724891227938183011949129833673362440656643086021394946395224737190 702179860943702770539217176293176752384674818467669405132000568127145263560827 785771342757789609173637178721468440901224953430146549585371050792279689258923 542019956112129021960864034418159813629774771309960518707211349999998372978049 951059731732816096318595024459455346908302642522308253344685035261931188171010 003137838752886587533208381420617177669147303598253490428755468731159562863882 353787593751957781857780532171226806613001927876611195909216420198938095257201 065485863278865936153381827968230301952035301852968995773622599413891249721775 283479131515574857242454150695950829533116861727855889075098381754637464939319 255060400927701671139009848824012858361603563707660104710181942955596198946767 837449448255379774726847104047534646208046684259069491293313677028989152104752 162056966024058038150193511253382430035587640247496473263914199272604269922796 782354781636009341721641219924586315030286182974555706749838505494588586926995 690927210797509302955321165344987202755960236480665499119881834797753566369807 426542527862551818417574672890977772793800081647060016145249192173217214772350 141441973568548161361157352552133475741849468438523323907394143334547762416862 518983569485562099219222184272550254256887671790494601653466804988627232791786 085784383827967976681454100953883786360950680064225125205117392984896084128488 626945604241965285022210661186306744278622039194945047123713786960956364371917 287467764657573962413890865832645995813390478027590099465764078951269468398352 595709825822620522489407726719478268482601476990902640136394437455305068203496 252451749399651431429809190659250937221696461515709858387410597885959772975498 930161753928468138268683868942774155991855925245953959431049972524680845987273 644695848653836736222626099124608051243884390451244136549762780797715691435997 700129616089441694868555848406353422072225828488648158456028506016842739452267 467678895252138522549954666727823986456596116354886230577456498035593634568174…
Ingin tahu lebih lanjut 100.000 angka $latex \pi $ bisa dilihat di sini. KLIK. Zaman sekarang para ilmuwan sudah mencapai triliunan angka di belakang koma sih dengan bantuan komputer. Wujud $latex \pi $ di alam nyata ada. Karena $latex \pi $ itu sendiri adalah rasio dari keliling dan diameter sebuah lingkaran. Idenya, $latex \pi $ adalah rasio tapi ternyata di alam nyata susah juga mewujudkan $latex \pi $ sebagai rasio, makanya $latex \pi $ itu masuk ke bilangan Irasional. Bilangan yang nilai persisnya di antara nilai-nilai bilangan Rasional. Mari lanjut..
Di sisi lain bilangan Imajiner hadir sebagai eksistensi yang tidak tampak (wujud) di alam nyata. Contohnya adalah bilangan kuadrat yang negatif. Seperti ini.
[latex]x^2 = -1 \\ x = \sqrt{-1} [/latex]
Contoh fisik dari akar minus satu di dunia tidak dapat diindera. Tidak ada satupun wujud geometri yang ada di dalam sebagai bentuk akar negatif. Inikah Metafisika dalam Matematika?
Imajiner juga tidak dibuang di dalam matematika. Malah hampir semua solusi sulit diselesaikan dengan bantuan bilangan Imajiner ini. Ia berupa bilangan Kompleks, gabungan bilangan Real dan Imajiner.

Bilangan Kompleks (1).
Seperti $latex 3 + 8\sqrt{-1}$. Biasanya ditulis dengan lebih sederhana sebagai $latex 3 + 8i$ atau $latex 3 + 8j$. Penggunaan $latex j$ lebih sering digunakan di antara insinyur dan $latex i$ lebih sering oleh matematikawan. Bicara tentang karya peradaban Islam ini memang idealnya menguasai dua atau lebih disiplin sekaligus; Islam (bahasa Arab, Quran, Hadith, dan lain-lain), dan Sains (Fisika, misalnya).
Sesuatu yang Irasional adalah Nyata. bahkan gagasan Imajiner yang tidak berfisik di alam Nyata ini adalah solusi atas berbagai permasalahan di alam Nyata.
Guna bilangan Imajiner kita rasakan setiap saat. Semisal isi ulang baterai smartphone atau laptop. Pasti menggunakan adaptor, penyesuaian arus, tegangan, dan fasa listrik di dalamnya diselesaikan dengan bantuan perhitungan bilangan Imajiner oleh para insinyur.
Metafisika dalam Matematika
Setelah intro di atas, saya ingin masuk ke area keyakinan khususnya Islam. Kebanyakan atheist menyebut diri mereka Rationalist. Lalu saya bertanya, what if the true and the real is defined by both of the rational and the irrational thinking? Even the imaginary is often needed by us in Mathematics? We surely can’t live without the imaginary one.
Secara bahasa Metafisika terdiri dari dua kata, pertama meta (di luar atau dibalik) dan fisika (fisik). Sedangkan secara istilah cabang Filsafat yang mempersoalkan sesuatu di luar alam fisik. Geometri adalah salah satu cabang di dalam Matematika yang memiliki wujud (terindera). Di lain sisi Matematika juga ambil bagian pada area yang tidak dapat diindera atau tidak berfisik. Malah kalau disimpulkan, belakangan Matematika berkontribusi besar pada pengetahuan tentang yang tidak tampak.
Beriman terhadap yang Imajiner amat dimungkinkan. Matematika telah menjamin sistem semacam ini tetap berguna bagi manusia. Perlu saya tekankan ber-Islam bukan semata karena ia bermanfaat, saya bukan oportunis. Saya ber-Islam karena Islam ini memang benar. Sistem keyakinannya koheren dan berkorespondensi. Sistem Aqidah Islam itu solid dan tidak bercelah.
Secara teknis, beberapa Ustadz mengistilahkan cara kita beriman pada zat yang metafisik itu Suprarasional bukan Irasional. Kalau boleh dianalogikan seperti ada dua kotak, yang pertama kotak “merah” dan kotak kedua “tidak merah”. Entah mau warna “biru” atau “hijau” pasti masuk ke bagian kotak “tidak merah”. Dan area Irasional inilah yang saya maksud sebagai “tidak merah” atau Suprarasional. Bila beberapa Ustadz ingin mengistilahkan sebagai Suprarasional saya kira itu sah-sah saja menimbang bahwa cara berpikir pada Zat Yang Tinggi ini perlu disesuaikan sebagai Suprarasional, di atas Rasional.
Bagi yang mendalami Matematika pasti amat terasa Epistemologi ilmunya juga mengakui khabar shadiq dan pemeliharaan sanad-nya amat jelas. Sebagaimana penyebutan sebuah Teorema, Aksioma dan aturan-aturan. Besar dugaan nilai-nilai yang telah ditanamkan ilmuwan dan ulama Islam dulu masih kekal di dalam Matematika. Tinggal kita generasi ini mau menggali dan mengupasnya kembali atau tidak?
Berpikir Rasional
Ciri berpikir rasional adalah berbasis pada bukti, sistematis, dan logis. Banyak literatur menjelaskan apa itu Rasional. Pada tulisan ini saya mencoba untuk menghadirkan sesuatu yang baru, terutama bagi saya sendiri.
Rasio adalah perbandingan. Bila di Matematika dikenal ada sisi atas “pembilang” dan bawah “penyebut”. Berpikir logis menuntun pemikirnya untuk mengklasifikasikan sesuatu pada dua kotak, kotak barang bukti dan kotak keputusan. Ciri lainnya ialah sistematis. Setiap masuk di kotak barang bukti ia harus dibuktikan dulu, baru kemudian lanjut ke kotak barang bukti lainnya untuk sistem pembuktian yang lebih kompleks. Sistem akan berhenti apabila masuk ke kotak tidak terbukti benar. Sehingga berpikir rasional menuntut adanya alasan dan bukti sebagai dasar untuk menciptakan satu kesimpulan.
Contoh: air memiliki tiga fase wujud yaitu membeku dalam padatan, mencair pada umumnya, dan menguap bila memiliki energi yang tinggi. Titik didih air di Kota Bandung saya perkirakan sekitar $latex 96 \textdegree $, bukan $latex 100 \textdegree $ kenapa? Silakan cari sendiri, hehe. Untuk mendidihkan air diperlukan energi berupa kalor untuk menaikkan aktivitas molekulnya sehingga cukup renggang dan ringan, berubah dari fase cair ke gas. Cara berpikir Rasional adalah panci berisi penuh air yang dibakar di bawah api kompor atau unggun pasti airnya akan mendidih. Alasan yang mendasari ini Rasional adalah karena ini termasuk common sense. Semua orang juga tahu, kalau air dipanaskan terus maka ada suhu maksimum di mana ia akan berubah fase. Pengetahuan semacam ini kita letakkan di kotak cara berpikir Rasional.
Saya membayangkan perbandingan (rasio, berpikir rasional) itu semacam ini.
[latex] \text{Berpikir} = \dfrac{\text{Ketersediaan Alasan}}{\text{Kebutuhan Alasan}} \, \begin{cases} Berpikir = 0, \text{Tidak Ada Alasan} \cdots (I) \\ Berpikir \neq 0, \text{Ada Alasan} \cdots (II) \end{cases} \\ \\ \text{Ketersediaan Alasan dan Kebutuhan Alasan} \in \text{Bilangan Bulat atau Integer}[/latex]
Hasil rasio di atas akan selalu Rasional dengan syarat penggunaan anggota bilangan Bulat pada pembilang dan penyebutnya. Ciri berpikir Rasional adalah memiliki pembanding, ada pembilang dan ada penyebut. Pembilang di bagian atas saya anggap sebagai ketersediaan alasan atau bukti yang logis. Penyebutnya adalah kebutuhan alasan, berapa banyak sih alasan yang dibutuhkan untuk berpikir rasional? Terserah itu bebas.
Pada kasus di atas, bila kita kembangkan seluruh pengetahuan tentang rasionalitas kenapa air di dalam panci dapat mendidih pada temperatur panci sekitar $latex 96 \textdegree C $ selain karena alasan terdapat sumber energi eksternal seperti api (1) juga semisal karena faktor lingkungan sekitar (2). Alasan lingkungan adalah temuan ilmuwan bahwa titik didih air pada $latex 100 \textdegree C $ dicapai apabila tekanan atmosfernya sebesar $latex 76 cmHg $ atau $latex 1 atm $ dengan suhu sekitar normal $latex 25 \textdegree C $. Lingkungan Bandung menyebabkan tekanan atmosfer tidak persis $latex 76 cmHg $, hasilnya adalah sedikit penurunan titik didih ke angka $latex 96 \textdegree C $. Berarti sementara ada 2 alasan kenapa air dapat mendidih di Kota Bandung. Keberadaan alasan ini bisa bersifat opsional, satu saja terpilih maka tetap Rasional atau harus sekuensial. Sekuensial berarti satu alasan mendukung alasan lain, berantai dan saling mempengaruhi. Sekarang kalau ada energi eksternal tapi kondisi lingkungan tidak terpenuhi seperti di atas maka fenomena mendidihnya air bisa saja masuk kategori Irasional. Untuk contoh ini saya butuh 2 alasan yang mengikat, sehingga variabel kebutuhan alasan di saya tulis 2. Dengan kehadiran 2 alasan, maka air dapat mendidih dengan rasional.
[latex]\dfrac{\text{Ketersediaan Alasan}}{2} = \, ?[/latex]
Semisal fakta, suhu Bandung saat saya menulis ini adalah $latex 20 \textdegree C $. Tapi tidak tersedia api. Tidak tersedia cukup alasan untuk mengatakan air akan mendidih dengan kondisi Bandung yang seperti itu. Kita letakkan panci berisi air di ruang terbuka di Bandung yang dingin. So what? Tidak akan terjadi apa-apa, karena tidak ada api tidak ada energi! Saya belum menemukan alasan yang cukup untuk merasionalkan mendidihnya air di dalam panci.
[latex]\dfrac{0}{2} = 0 \, \text{, hasil ini adalah “air tidak mendidih” secara Rasional dengan 0 alasan.}[/latex]
Hasil cara berpikir 0 adalah tanda fase air tidak berubah dari keadaan umumnya di muka Bumi yaitu cair. Kondisi air mendidih didefinisikan dengan nilai lebih besar dari 0. Jadi kalau nilainya 0, berarti air tidak mendidih. Ini tentang cara berpikir.
[latex]0 < \text{air mendidih, dari proses berpikir.}[/latex]
Kondisi berikutnya adalah dihadirkan api, sumber energi yang dibakar dari atas kompor. Kondisi ini mendukung fakta lingkungan Bandung yang mendukung mendidihnya air di angka $latex 96 \textdegree C $.
[latex]\dfrac{2}{2} = 1 \, \text{, hasil ini adalah “air mendidih pada 96 \textdegree C!” secara Rasional dengan 2 alasan.} [/latex]
Hadirnya dua alasan ini penting sekali, jika hanya ada satu maka belum tentu air dapat mendidih. Kalau nggak percaya silakan bawa kompor gas ke Planet Mars. Tekanan atmosfer dan temperatur lingkungannya tidak stabil dan ekstrem, ditambah oksigennya tidak ada. Sampai sini kita tahu kan kalau sumber energi itu tidak hanya api dari kompor gas? Matahari juga bisa menaikkan suhu air hingga mendidih, seandainya kita hadirkan ia di Bandung maka mendidihnya air kita masih masuk kategori Rasional. Bila dirangkumkan maka terdapat banyak alasan dengan prinsip yang sama yaitu energi dan kondisi lingkungan untuk mewujudkan pencapaian titik didih molekul air. Berikutnya kita bisa hadirkan banyak alasan untuk memahami secara Rasional bagaimana air dapat mendidih.
[latex]\dfrac{\text{Ketersediaan Alasan}}{2} = x, \begin{cases} x = 0, \text{Tidak Ada Alasan} \cdots (I) \\ x = 1, \text{Ada 1 Alasan} \cdots (II) \\ x = 2, \text{Ada 2 Alasan} \cdots (III) \\ x = 3, \text{Ada 3 Alasan} \cdots (IV) \end{cases}[/latex]
Akal kita selalu membutuhkan perbandingan atau komparasi sebagai dasar satu keyakinan. Manusia menimbang-nimbang apakah ini terjadi melalui sebab-akibat dengan alasan yang cukup atau tidak. Berpikir rasional menuntut kita memenuhi perbandingan alasan minimal dan alasan yang tersedia di lapangan. Berpikir dapat diajarkan sebagai common sense, sebagian mengatakan bentuk yang Rasional ini juga sudah ada dalam diri manusia, logika adalah kecenderungan alamiah manusia.
Berpikir Irasional (atau Suprarasional)
Mari kita hadirkan satu contoh yang tidak Rasional. Air dapat mendidih tanpa perlu api, tanpa matahari, tanpa energi apapun, tanpa lingkungan yang mendukung. Bagaimana itu? Saya juga tidak tahu, itulah kita sebut Irasional.
[latex] 1.4142135623730950488016887…=\dfrac{\text{Ketersediaan Alasan}}{\text{Kebutuhan Alasan}} [/latex]
Angka di atas saya ambil dari nilai $latex \sqrt{2} = 1.4142135623730950488016887…$ hingga tak terhingga. Ini adalah contoh sembarang bilangan yang Irasional.
Sedikit kembali ke atas, saya hanya butuh 2 alasan (yang terikat) untuk percaya bahwa air dapat mendidih secara Rasional. Tapi kali ini saya disuguhi dengan ‘cara berpikir mendidih’ yang berbeda yaitu $latex 1.414…$ yang desimalnya berterusan tak terhingga dan tidak memiliki bentuk penyebut dan pembilang yang jelas.. Alasan yang tersedia mungkin amat membingungkan, tidak memiliki bilangan bulat yang tegas. Berdasar pengamatan tidak ditemukan variasi alasan yang bekerja berdasar prinsip energi di atas misalnya, kita butuh sumber energi, energi itu memanaskan air hingga mendidih. Di sinilah sesuatu terjadi secara Irasional. Namun bagaimanapun juga ini Real, alias Nyata!
Seperti dinginnya api yang membakar Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salaam..
قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ
(Kami berfirman, “Hai api! Menjadi dingin lah dan menjadi keselamatan lah bagi Ibrahim”) maka api itu tidak membakarnya selain pada tali-tali pengikatnya saja dan lenyaplah panas api itu, yang tinggal hanyalah cahayanya saja, hal ini berkat perintah Allah, ‘Salaaman’ yakni menjadi keselamatan bagi Ibrahim, akhirnya Nabi Ibrahim selamat dari kematian karena api itu dingin. [QS. Al-Anbiya (21): 69]
Fakta api dingin yang menyelamatkan Nabi Ibrahim itu nyata ada, tapi rumusan alasannya itu yang kita tidak tahu bagaimana dan apa. Kalau kayunya terbakar, tali pengikatnya terbakar, kenapa tubuh Nabi Ibrahim tidak? Di sini letak permasalahan dalam berpikir Rasional. Oh ya, saya sebut fakta karena saya sudah beriman pada kebenaran al Quran. Kalau mau berpikir secara Real maka harus dimasukkan pula saluran-saluran berpikir yang tidak rasional atau Suprarasional, sesuatu di atas Rasional. Ingat-ingat lagi Real terdiri dari dua hal: Rasional dan Irasional. Jangan sampai salah mengkategorikan, kejadian Nabi Ibrahim ini Irasional (atau Suprarasional) dan bukan Imajiner. Beda itu! Umat Muslim harusnya bangga dengan kemampuannya mampu menerima yang Irasional, Rasional, dan Imajiner.
Beriman itu kepada yang Nyata (Real) dan Imajiner. Beriman juga pasti perlu ilmu. Ilmu itu akan menjadi alasan minimal yang dibutuhkan untuk percaya. Iman butuh berpikir tidak hanya langsung percaya. Alasan mengapa memilih Islam akan berbeda pada masing-masing orang. Beriman pada Islam itu butuh berpikir secara Rasional dan Irasional (Suprarasional). Semua muallaf yang menyatakan tertarik dengan Islam pasti wajib belajar Shalat sebelum Shalat, bisa membaca Quran untuk bacaan Shalat, mengenali Shirah Nabawiyah, dan dasar-dasar Aqidah seperti apa itu Syahadat. Semua ini ilmu, semua ini juga alasan (reasoning). Di mana semua ilmu tersebut membantu mengarahkan seseorang untuk beriman pada yang Benar. Iman yang tumbuh dari ilmu pasti melahirkan konsekuensi. Sebab bagaimana bisa seorang yang mengaku Muslim masih mabuk-mabukan dan mencuri? Ia beriman tidak dengan ilmu, sehingga keimanannya juga tidak melahirkan konsekuensi. Mungkin bagi dia, entah Islam atau tidak pokoknya mabuk tetap jalan!
Saya hanya ingin bertanya, kalau Muslim berpikir secara Irasional.. memang kenapa? Matematika saja benar dan valid padahal mengadopsi sistem bilangan yang tidak Rasional bahkan Imajiner! Ciri sekularisasi adalah memisahkan, “Ah ini kita bicara agama jangan dicampur-campur dengan Matematika.” Di sini lah letak masalahnya. Matematika sendiri maju amat pesat dan diletakkan pondasi-pondasinya justru oleh ilmuwan Islam, bukan orang Romawi atau Persia. Pertanyaannya kan jadi lebih menarik, ada apa dengan Islam kok bisa mengembangkan Matematika sedemikian rupa?
“Berpikir” Imajiner
Yang Imajiner adalah yang tidak memiliki angka tertentu. Berapa nilai persis dari $latex \sqrt{-1}$? Sejauh ini tidak ada ilmuwan yang tahu. Eksistensi fisiknya di dunia juga tidak ada yang tahu. Tapi cara kita memahami alam semesta bekerja pasti berkat bantuan $latex \sqrt{-1} = i = j$ ini. Kalau Allah (al Khaliq) tidak bisa diumpamakan dengan sesuatu yang menyerupai makhluknya, kiranya Allah adalah sesuatu yang Imajiner. Ciri dari sesuatu yang Nyata adalah yang dapat diindera dan ada di dunia. Sedangkan ciri Imajiner adalah tidak dapat diindera dan wujudnya tidak sebagaimana ciptaan yang ada di dunia. Inilah Metafisika dalam Matematika!
Pada tahap Imajiner, sesungguhnya manusia tidak benar-benar “berpikir”. Imajiner itu hanya dapat terbayang bekas-bekasnya, bukan berpikir hakikatnya. Bila Allah adalah Yang Imajiner, dan Allah Maha Pelindung, maka Cara Allah Melindungi adalah di luar Rasional dan Irasional. Makhluk seperti manusia tidak dapat menjangkau dengan pikiran akalnya. Yang nampak pada manusia hanya bekas-bekasnya tentang Perlindungan-Nya.
Tidak hanya yang Nyata, Islam juga mengajak menghadirkan yang Imajiner itu ke dalam kehidupan sehari-hari. Masuk kamar mandi.. berdoa, berkaca.. berdoa, mengenakan baju.. berdoa, setelah aqad nikah.. berdoa, bersin.. berdoa, menguap.. berdoa, dalam shalat.. berdoa, bangun tidur.. berdoa, tidur.. berdoa, dapat hadiah.. berdoa, dapat musibah.. berdoa, semua ada doa. Di dalam Matematika hal ini (Imajiner atau Yang Ghaib) sudah sangat biasa dan bahkan penting, tapi sebagai Muslim kita tidak sadar kalau Metafisika juga ada di dalam Matematika!
Disebabkan pengetahuan yang Allah berikan tentang bilangan Imajiner ini, manusia bisa mengendalikan banyak hal. Menjadi khalifah-Nya di Bumi. Membangun peradaban dan merawat Bumi. Kalau kamu belajar Teknik pasti sering menjumpai bilangan Imajiner ini amat berguna dalam dunia rekayasa. Matahari dan Bulan masih beredar pada garis lintasannya, garis edar yang tidak pernah sama. Karena ternyata Matahari kan juga mengorbit pada gugusan yang lebih raksasa dari Tata Surya ini. Kita harus bersyukur pada Yang Ghaib (Yang Imajiner) atas Ketidakteraturan di alam semesta ini. Bagi manusia awam pergerakan Matahari dan Bulan seperti teratur padahal sama sekali tidak teratur. DIA Yang Imajiner ini, di dunia tidak nampak wujud-Nya sebagaimana prinsip bilangan Imajiner dalam Matematika. Namun disadari atau tidak, tanpa kendali-Nya pasti sudah berantakan sistem Tata Surya ini.
Betapa eksistensi Metafisik sebetulnya lebih nyata dari yang Fisik. Karena bila eksistensi manusia ini sebetulnya tersusun karena Kehendak Allah Yang Ghaib, maka nasib manusia yang fisik ini sebenarnya bergantung pada Kebijaksanaan Allah Yang Metafisik.
Saluran kebenaran yang dipaparkan di atas barulah dari Rasional dan Irasional (Suprarasional). Untuk Imajiner sebenarnya kita tidak benar-benar “berpikir”, kita hanya menerima sebagaimana eksistensi Imajiner dalam Matematika. Penggunaannya pun dalam Matematika tidak pernah sendirian, selalu disandingkan dengan sistem bilangan Rasional dan Irasional, menjadi bilangan Kompleks. Selalu begitu kan? Sehingga Yang Imajiner selalu “wujud” dalam dunia “Kompleks”. Dunia dan Akhirat?
Saluran kebenaran (di dalam Epistemologi Islam) masih ada yang lain yaitu Khabar Shadiq atau Kabar Yang Benar, mencakup al Quran dan Hadith. Asalkan ia berasal dari jalur yang terjaga dan isinya juga benar maka kita dapat percaya. Dari Khabar Shadiq inilah kita mengenal nama Allah, apa sifat Allah, siapa Rasulullah, siapa Nabi-Nabi, apa itu Malaikat, apa itu Iblis, apa itu Jin, apa itu Hari Kiamat, dan seterusnya. Untuk Khabar Shadiq ini sudah banyak dijelaskan oleh Ust. Hamid Fahmy Zarkasyi dan Ust. Adian Husaini di banyak tempat dan kesempatan. Silakan cari di internet atau hadir di majelis beliau-beliau.
Setelah menyadari kehadiran Metafisika dalam Matematika, sepatutnya tiap belajar, menggunakan, dan mengembangkan Matematika membuat diri ini ingat selalu pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada satu pun ilmu yang tidak membuat ingat pada-Nya. Inilah dzikir-nya ahli ilmu.
Sari Gagasan: Metafisika dalam Matematika
- Berpikir itu tidak semata Rasional tapi penting juga bisa membedakan dan tahu ada berpikir yang Irasional.
- Rasional itu Nyata, Real.
- Irasional itu juga Nyata, Real.
- Akal bekerja mirip rasio dalam Matematika. Butuh perbandingan. Pembanding berupa Pembilang dan Penyebut. Tidak butuh perbandingan juga masih dalam wilayah berpikir akal.
- Imajiner bukan buah pikiran. Ia di luar yang Rasional dan Irasional. Akal tidak mampu membuat perbandingan atas Zat Yang Ghaib atau Metafisik.
- Informasi Imajiner disampaikan melalui Khabar Shadiq.
- Perbandingan selalu membutuhkan wujud yang serupa di dunia. Padahal Allah dan Malaikat tidak menyerupai apapun di dunia ini. Karenanya ia seperti bilangan Imajiner di dalam Matematika.
Saya bukan matematikawan beneran, kalau ada salah dan saran kiranya bisa didiskusikan. Semoga pemahaman saya yang bengkok mudah diluruskan. Terima kasih sudah membaca “Metafisika dalam Matematika” sampai akhir.
Bahan Diskusi Lanjut
Perhatikan persamaan berikut:
[latex]Berpikir = \dfrac{1}{0} = \infty[/latex]
Kira-kira gagasan apa yang dapat dilahirkan terkait dengan “berpikir” dari persamaan Matematika tersebut? Bila penyebut $latex 0$ dianggap sebagai tidak butuh alasan sama sekali, dan pembilang alasan hanya ada $latex 1$, mengapa hasil berpikirnya menjadi Tak Hingga? Apa maknanya?
[latex]Berpikir = \dfrac{\infty}{0} = 1[/latex]
Kemudian ketika alasan tersebut betul-betul tersedia tak hingga banyaknya, dan manusia tidak membutuhkan alasan satu pun, hasil berpikirnya sama dengan $latex 1 $. Mari beri makna pada ilmu-ilmu yang telah dipelajari.
Sumber daya penulisan Metafisika dalam Matematika:
- Zekr al Quran Digital.
- Terjemah Bahasa Zekr, Jalal ad-Din as-Suyuti.
- LaTeX untuk WordPress.
- Petunjuk perintah penulisan LaTeX.
Bandung, 27 Rajab 1437 Hijriyah.
Discussion
No comments yet.